24/07/11

Imaji(nasi) Indonesia


Akhir-akhir ini, televisi adalah penguasa yang mendefinisikan Indonesia. Indonesia adalah televisi Indonesia. Indonesia adalah Nazaruddin yang sakit hati lalu jadi penghasud, Partai Demokrat yang terpecah, relity show yang penuh bualan, cerita selebriti pesanan, kekerasan yang lumrah pada hampir segala lini, kemiskinan yang dijadikan kapital, film asing yang digemari, iklan yang menggoda, dan sinetron yang tak logis serta tak realistis.

Singkatnya, Indonesia kini adalah citra, imaji, bukan lagi imajinasi [akan kebersamaan] yang terus-menerus dipupuk dan dipertahankan mati-matian. Ideologi, baik yang tertutup apalagi yang terbuka, telah hanyut terbawa arus yang tak jelas dari mana dan akan kemana. Ben Anderson, orang-asing yang tersihir oleh “pesona” Indonesia itu, tampaknya harus segera merevisi makalahnya.

Indonesia. Apa arti “kata asing” ini bagi saya? Bagi mahasiswi yang hidupnya dikendalikan oleh cinta yang semu? Bagi penjual sayur di Pasar Angso Duo? Bagi guru di Pijoan yang terlilit hutang? Bagi ibu-ibu yang ruang geraknya berkisar antara rumah, jamban, toko klontongan, mall, dan tempat rekreasi? Bagi petani karet yang berharap agar harga getah kembali stabil? Bagi tukang ojek di Simpang Sukorejo yang misuh-misuh karena BBM tiba-tiba langka? Bagi anggota DPR yang tak ngerti tatib dan prosedur legislasi? Bagi bupati yang berambisi jadi miliyarder? Saya tak tahu. Indonesia semakin terasa asing saja.

Yogya, 24 Juli 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam