01/07/11

Berharap kepada Matahari Lain


: Hanya Corat-coret Ngawur

Yang akan menolong ilmu ekonomi dan ilmu politik, setelah ilmu secara telak dan tegas membedakan diri dari dan dengan agama, setelah manusia semenjak abad 18 silam ramai-ramai melokalisir agama sebagai semata-mata urusan individu, adalah ilmu psikologi.

Ilmu ekonomi senantiasa matikutu bila dihadapkan pada pertanyaan: bagaimana kesejahteraan merata dapat tercapai ketika alam menyediakan sumber energi yang terbatas dan tak-dapat-diperbaharui, sementara, pada waktu yang sama, kebutuhan dan keinginan manusia meningkat seiring meningkatnya jumlah penduduk di muka bumi, seiring membesarnya kemampuan ilmu komunikasi merangsang pertumbuhan keinginan manusia dengan memanipulasi imaji.

Dalam keterbatasan yang sesak-sempit itu, masih mungkin distribusi ekonomi yang adil dijalankan? Para pakar ekonomi memang menjawab pertanyaan yang berusia setua umur kehidupan itu dengan argumentasi spekulatif dan matematisnya masing-masing.

Namun, mereka belum mampu membuat media massa meninggalkan pemberitaan mengenai kemiskinan, kelaparan, perang, dan kematian. Jika pun media massa tersebut memberitakan tawa, ceria, dan kemakmuran, pasti hal itu dimaksudkan hanya untuk menginspirasi sangat banyak manusia yang hidup di bawah garis kemiskinan agar mempertahankan nyala harapannya dan bangkit menggapai mimpi dengan optimisme yang mantap, atau menghibur mereka agar sabar dan tabah menghadapi derita sebagai kaum marginal.

Ilmu politik sama terpojoknya dengan ilmu ekonomi. Ilmu politik juga belum menelurkan metode mujarab supaya manusia mampu merealisasi keadilan ruang.  Karena kelangkaan sumber energi dan (lagi-lagi) manipulasi psikologi oleh ilmu komunikasi, kehendak-kuasa manusia selalu bertumbuh dan bertambah, sedangkan ruang publik sebagai ruang politik tidak pernah melar.

Pecahnya perang yang berakibat pada pembagian ruang politik yang lebih sempit dan lebih sempit lagi, justeru memperbanyak jumlah konflik dan pemberontakan, yang ironisnya menyebabkan perang berikutnya. Ilmu politik dan keturunannya, terutama Hubungan Internasional dan Diplomasi, paling kuat hanya dapat menunda dan menjeda konflik, dan jarang sekali berhasil membatalkan perang. 

Manusia yang telah menyerupai binatang dan mengistirahatkan nuraninya, berusaha agar tidak lapar dan hari ini dapat makan, bila perlu dengan merampas cadangan pangan orang lain sebanyak-banyaknya dan menimbunnya. Manusia Machiavelian semacam ini berpikir bagaimana menyelamatkan diri dari trauma masa lalu dan menenangkan diri dari ketakutan akan masa depan.

Sedihnya, tiada malaikat dalam real-politik. Yang ada, bersepaham dengan realisme John Rawls, hanya manusia yang bernegosiasi dan berkomunikasi demi kepentingan egonya sendiri-sendiri. Dalam alam rimba tersebut, bahkan demokrasi yang konon merupakan sistem politik tercanggih yang pernah ditemukan manusia, tak bisa menggagalkan pertumpahan darah, sebaliknya, malah mempercepat dan memperlebar jalan perang.

Memang dulu agama adalah juru damai dan perahu menuju kesejahteraan. Tapi kini agama, selain sudah diamputasi, juga telah kurang, bahkan tidak memiliki karisma dan legitimasi di mata generasi yang hidup di jaman informasi ini. Anak-anak muda menyaksikan sendiri perilaku agamawan yang menyimpang dari akidah-akhlak. Oleh para suci itu, agama berfungsi sebagai arena politik.

Sebagai solusi negatif-tentatif, anak-anak muda yang bingung dan limbung tersebut mencari agama baru yang jujur dan tanpa kemunifikan, dan mereka mendapatkannya pada, sebagai contoh: bola, drugs, dunia malam, dan seterusnya. Agama jenis ini, kendati menolak dusta mengecam pura-pura, tetap saja memperburuk situasi, mempersakit masyarakat, dan memperkronis krisis; sama berbahayanya dengan cara beragama para agamawan yang sok suci tadi.

Lilin tidak benar-benar mati, malam tidak sungguh-sungguh gulita. Sesudah pesona agama pudar, masih tersedia matahari lain: ilmu psikologi. Tentu tidak semua ilmu psikologi. Ilmu psikologi yang menggali ilham dari tradisi timurlah yang paling mungkin memberi peringatan dan kabar gembira.

Ilmu psikologi ini menjalin hubungan erat dengan sastra, dan sebenarnya, juga dengan puing-puing kedigjayaan agama yang kini telah runtuh. Ia memainkan peran sestrategis peran agama: menetralisir keinginan, menjinakkan kehendak-kuasa, membeningheningkan batin, dan menanamkan kesadaran nerimo, legowo, rendah hati, sabar-yang-kreatif, pasrah-yang-aktif, dan sebagainya dalam jiwa manusia. Ia menyemai rasa-mahardika dan keberanian dalam hati manusia.

Benar bahwa tidak semua manusia akan sampai pada derajat eksistensial sepurnama itu. Tetapi setidaknya ilmu psikologi membantu meringankan beban manusia akibat gonjang-ganjing perang yang tak kunjung kelar. Dengan demikian, kita tidak perlu lagi terlalu merasa bersalah kepada anak-cucu.

Juni 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam