18/07/11

Jalan Tengah


Makkah dan Madinah merupakan dua tempat yang tak bisa diabaikan ketika membicarakan watak agama Islam. Kedua kota suci tersebut memperlihatkan kontradiksi sosiologisnya sendiri-sendiri. Islam lahir di Makkah, kemudian dikembangkan dan disistematisir di Madinah.

Makkah adalah kota dagang sekaligus kota spiritual. Tentu, bagi beberapa ilmuwan sosial, kontradiksi sosiologis ini sungguh tak masuk akal. Sebelum kerasulan Muhammad, kegiatan ekonomi dan kegiatan budaya bersinergi dalam orientasinya yang negatif. Idealnya, suatu wilayah politik yang telah berhasil mensinergikan prinsip ekonomi dan prinsip spiritual akan mengalami tingkat peradaban yang tinggi. Tetapi, di Makkah keadilan dan kemerataan kesejahteraan justeru menjadi barang langka.

Sebagai kota dagang, Makkah menjadi tempat bertemunya para pedagang transnasional. Masyarakat Makkah, oleh sebab itu, sudah pasti memiliki pandangan-dunia yang terbuka, merdeka, saintifik, dan kosmopolit. Sebagai kota spiritual, Makkah setidaknya mempunyai dua peran sentral: pertama, tujuan ziarah tidak saja bagi para penganut agama samawi, tetapi juga bagi para penganut agama pagan; kedua, tempat dipentaskannya berbagai karya seni pamuncak jazirah arab semisal sastra, musik, tari, beladiri, dan seterusnya.

Singkatnya, sebelum kedatangan Islam, Makkah adalah tempat di mana segala arus budaya di jazirah arab bertemu, berbentur, berbaur, dan berdialog. Latar sosiologis semacam ini merupakan kondisi yang memungkinkan Islam terpola sebagai agama pertengahan (nir-kotradiksi) yang menerima segi-segi positif dari rasionalisme dan mistisisme.

Demikian pula, Madinah juga turut serta membentuk watak Islam sebagai agama pertengahan. Sebelum periode hijrah, Madinah, sebagaimana kita ketahui, bernama Yatsrib. Tidak seperti Makkah, Yatsrib adalah wilayah agraris. Pertanian dan peternakan adalah pekerjaan pokok para penduduknya.

Tidak sulit untuk membayangkan bahwa pada saat itu masyarakat Yatsrib menjalankan hidupnya dengan pandangan-dunia yang tertutup, komunal, dan romantik; kondisi sosial yang hampir bertolak belakang dengan Makkah. Maka wajar bila di desa itu sering meletup konflik horizontal antarsuku, antarklan, dan antaragama. Wajar juga bila mereka kemudian merindukan kedatangan Muhammad, sosok avatar (messianis) yang akan menyelamatkan mereka dari kubangan prasangka dan perpecahan, serta membawa mereka ke alam perdamaian, keharmonisan, kemakmuran, keamanan, dan ketenteraman (toto tentrem kerto rahardjo).

Setibanya di desa tersebut, Muhammad benar-benar melakukan revolusi: mengubah Yatsrib menjadi Madinah (Munawarah). Madinah bermakna “polis”, “civitas”, “kota”, “negara”, “sistem peradaban”, sedangkan Madinah Munawarah bermakna “the enlightened state”. Sistem sosial Madinah merupakan kombinasi unsur positif dari kultur desa Yatsrib dan unsur positif dari kultur kota Makkah. Jadi, Madinah merupakan wilayah bersistem sosial pertengahan di mana keutamaan desa berpadu dengan keutamaan kota secara harmonis, koeksistensif, dan kokonstruktif. Sederhananya, Madinah adalah desa yang kota.

Jogja, 17 Juli 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam