24/07/11

Wibisana


Oleh: Goenawan Mohamad

Untuk setiap negeri selalu ada konflik kesetiaan, dilema, sejumlah variasi penyelesaian. Setiap kita yang mengenal epos Ramayana tahu bahwa ada jalan Wibisana.

Nama itu memberi kita kearifan tentang betapa tak sederhananya hubungan manusia dengan sesuatu yang disebut “tanah air”, terutama ketika pilihan besar dan menyakitkan harus diambil. Seorang patriot, seorang pengkhianat—bisakah kita selamanya pasti dengan kategori ini?

Dari Baghdad, di tahun 1968, Kanan Makiya, seorang anak arsitek terkenal Irak, pergi belajar arsitektur ke Amerika Serikat. Sejak itu ia tak kembali. Kini ia mengajar di Universitas Brandeis. Di tahun 1989, ia menulis sebuah buku tentang kekuasaan Saddam Hussein dan Partai Baath yang mencengkeram Irak, Republik of Fear. Kemudian ia menulis Cruelty and Silence. Beberapa tahun lamanya ia memakai nama Samir al-Khalil. Kini ia dikenal sebagai seorang intelektual Irak yang hidup di luar negeri yang mencita-citakan sebuah Irak yang demokratis, sekuler, liberal, di mana perbedaan tak dilindas oleh nasionalisme yang selama ini merundung Timur Tengah—baik nasionalisme Baathis maupun Zionis.

Karena itu Makiya bertepuk tangan untuk Amerika yang menyerbu Irak. Ketika di televisi ia saksikan tentara AS memasuki Baghdad dan patung Saddam Hussein diruntuhkan, ia pun menulis di New York Post, “Thank you, America”. Baginya, Amerika “telah bertempur untuk sebuah perang yang adil.... meskipun ditentang oleh negara-negara yang meletakkan kepentingan komersial dan kepentingan lainnya di atas penghancuran tirani”.

Kita tahu Makiya salah. Jutaan orang yang menentang perang itu melakukannya karena harus melawan dalih Gedung Putih—dalih yang mengandung doktrin yang agresif, dusta, ketidakadilan, hasrat imperialisme yang angkuh, yang disertai senjata yang mengerikan. Pendek kata: nafsu yang destruktif bagi hubungan damai di muka bumi.

Kita tahu Makiya salah, tapi saya tak akan bisa mengecamnya seperti Edward Said mencercanya di mingguan Al-Ihram. Said menganggap Makiya seorang yang—seraya menulis tentang Irak dari tempat yang aman—praktis tak punya kesetiaan. Ia berada “di antara banyak bangsa dan budaya, dan tanpa komitmen yang jelas kepada siapa pun juga (kecuali kepada karirnya sendiri yang naik)”.

Saya tak bisa mengecam seperti itu karena saya lihat Makiya juga dalam diri Said: keduanya datang dari keluarga elite Arab, lama hidup di luar Timur Tengah, dan menulis tentang wilayah itu dengan bergelora tapi dari tempat yang aman. Bila Makiya hidup di antara “banyak bangsa dan budaya”, Said juga selalu merasa “tak lengkap” bila hadir di antara orang Amerika ataupun orang Arab, seperti diakuinya dalam autobiografinya, Out of Place. Kedua-duanya orang di luar dan sekaligus di dalam, asing dan sekaligus tak asing.

Tentu ada beda besar. Said mengecam dengan sengit, tajam, dan tepat apa yang disebutnya sebagai narratheme dalam percakapan publik di Amerika kini: patriotisme yang berkibar—yang menganggap Amerika 100 persen adalah segumpal niat baik. Sejarah yang diabaikan—seakan-akan permusuhan terhadap Amerika kini muncul tiba-tiba, seakan-akan tak pernah ada Perang Vietnam, intervensi di Amerika Latin, sikap yang tak adil terhadap Palestina....

Makiya tak menyentuh hal itu. Ia justru melihat sikap “anti-Amerika” yang berkutat di Timur Tengah hanya melahirkan teror, fundamentalisme, dan kediktatoran. Ketiga-tiganya tak membuat dunia Arab lebih baik. Ia melihat pelbagai risalah politik Edward Said, bahkan karya besarnya, Orientalism, hanya memberi bahan kaum apologis dunia Arab yang tak hendak mengakui, seperti dikatakan seorang tokoh dalam Cruelty and Silence, bahwa “penyakit itu ada pula pada diri kita, datang dari kita dan mengeram dalam kita”.

Di sini saya tak bisa mengatakan Makiya salah. Juga Said tidak salah. Guru besar Universitas Columbia itu menghadapkan pengeras suaranya ke kuping orang Amerika, Makiya ke kuping orang Arab dan Irak. Saya teringat akan jalan Wibisana.

Bertahun-tahun lamanya pangeran Alengka ini menyaksikan kemanusiaan yang ambruk di bawah kekuasaan Rahwana. Tapi ia tak berdaya mengalahkan raja yang digdaya ini. Ia pun meninggalkan ibu kota.

Di seberang selat, beribu-ribu prajurit kera bersiap melintas dan menggempur. Mereka bagian dari koalisi yang dipimpin Rama, pangeran dari Ayodya yang datang untuk menuntut balas. Beberapa belas tahun yang lalu, Rahwana telah menculik Shinta—begitulah kita kenal dari cerita termasyhur ini.

Saya bayangkan Wibisana menemui Rama. Ia berpihak kepada orang Ayodya yang sakti ini, yakin bahwa itulah satu-satunya cara untuk mengakhiri zaman jahiliyah Alengka. Tapi saya bayangkan berhari-hari sebelumnya ia bergulat dengan pertanyaan: apa arti Alengka baginya?

Apa arti “tanah air”? Sebuah tempat yang begitu keramat hingga atas namanya segala hal—ketidakbebasan, kebrutalan, intoleransi—harus bisa diterima? Atau sebuah tempat yang begitu berharga hingga mesti segera dibersihkan dari rezim yang keji, kalau perlu dengan kekuatan asing?

Tak mudah menjawabnya. “Bangsa” bisa selalu memukau. “Tanah air” bisa menyayat hati. Ia tak hadir di luar sejarah. Ia dibangun dari harapan dan kekecewaan, euforia dan trauma, dan juga cita-cita yang tak selamanya selesai dirumuskan.

Dalam sosoknya yang kongkret itu sebuah “bangsa” atau “tanah air” juga bisa dilihat sebagai bangunan yang semu—kesemuan yang hendak ditutup-tutupi oleh nasionalisme. Dengan atau tanpa Marxisme, orang tahu bahwa sebuah nasion terdiri dari pelbagi unsur, tafsir, dan kepentingan yang bisa saling bertabrakan.

Maka ada penyelesaian Wibisana. Ada penyelesaian Makiya. Dengan muka masam saya baca kata-katanya, “Thank you, America”. Tapi hanya dengan muka masam.

Tempo, 11 Mei 2003

Bagi saya, Gunawan Wibisana adalah bunga padma, buah dari Sastra Jendra yang dipelajari dan diamalkan dengan bener lan pener. Wibisana adalah keraguan yang mengusir kesadaran-palsu, dan kesadaran yang membunuh keragu-raguan. Wibisana menjadi pahlawan bukan karena ia berada di pihak yang benar dan kemudian menang, tetapi karena ia jujur terhadap diri sendiri dan berani untuk tetap berpegang teguh pada prinsip yang ia yakini benar. Wibisana bisa saja salah, namun ia sudah siap dituduh bersalah dan dicemooh; ia sudah sudi mengorbankan diri. Barangkali itu yang membuat namanya harum dan dikenang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam