22/07/11

Keluarga


Oleh: Goenawan Mohamad

Beberapa saat sebelum ia mengangkat senjata, Arjuna bimbang. Kita tahu bagian cerita ini. Kita tahu kenapa pemanah ulung Pandawa itu tak segera maju: ia enggan membunuh sebagian sanak saudaranya sendiri.

Tapi, kemudian kita juga tahu apa yang terjadi. Perang berlanjut dengan ganas. Dua sisi dari keluarga Bharata itu saling membinasakan. Sejumlah orang tua tewas. Hampir semua anak muda gugur. Darah muncrat, rasa pedih menggigit, tangis berkepanjangan.

Mahabarata memang menceritakan bahwa perang itu harus terjadi. Ada soal hak dan keadilan yang harus ditebus. Ada dunia baru yang harus diciptakan. Yang menarik ialah bahwa di dalamnya juga tersirat satu sikap yang mendua, suatu ambivalensi yang tampaknya sesuai dengan kecamuk perasaan sebuah masyarakat yang sedang meninggalkan apa yang lazim disebut sebagai kinship system, sistem kekerabatan.

Di satu pihak ada penghalang terhadap digusurnya sistem kekerabatan dalam usaha membentuk sebuah dunia dan nilai-nilai baru. Di pihak lain ada semacam rasa dosa dan kehilangan. Setelah perang usai, Mahabarata terasa lebih mencekam kita daripada Ramayana. Dalam Ramayana, tak ada kepedihan runtuhnya ikatan-ikatan kekerabatan—kecuali dalam konflik antara Rahwana  dan kedua adiknya yang terkenal, Wibisana dan Kumbakarna. Secara sederhana Ramayana adalah kisah perang antara kita dan orang asing. Sebaliknya, Mahabarata adalah cerita sebuah perang saudara.

Dengan demikian, kisah yang di Jawa seperti tak kunjung habis dipertunjukkan dengan khidmat ini seakan-akan mengekspresikan suatu rasa cemas dan rasa tegang dalam jiwa kita meskipun tak sepenuhnya kita sadari: rasa cemas dan tegang yang secara intens terasa di sekitar zaman ketika Baratayuda diadaptasi kemari pada abad ke-12.

Perlahan-lahan tapi pasti, makin terasa merosotnya sistem kerabat sebagai sendi utama bangunan sosial politik kita. Orang tak lagi bertaut dengan sanak saudara sedusun dan secikal-bakal. Suatu unit yang lebih luas, dengan jumlah anggota yang lebih besar dan lebih beragam jenisnya, telah terjadi. Bentuknya disebut “negeri”. Keutuhannya beroperasi sebagai “negara”.

Transformasi itu bukan tanpa gundah. Perasaan para anggota masyarakat yang hidup di tengah proses itu pasti berkecamuk, sebab ternyata loyalitas telah berubah buhul pengikatnya. Bahkan, perang saudara bukan saja menjadi mungkin, tapi bisa juga diberi dalih moral. Kita lihat bagaimana Arjuna dapat diyakinkan oleh Kresna bahwa ia tak perlu memperhitungkan lagi hubungan famili. Hubungan-hubungan personal—termasuk hubungan antara guru dan murid—tak usah diperhatikan. Arjuna sudah tiba saatnya untuk bertaut dengan sesuatu yang lebih “impersonal”. Yakni tugas sebagai kesatria—atau yang semacam itu.

Tapi, bila “panggilan tugas” lebih didahulukan daripada hubungan kesetiaan asal, di manakah saya berpijak? Bila cita-cita membentuk dunia dan nilai-nilai baru lebih utama daripada kebajikan berbuat baik kepada keluarga, ke manakah saya akan bersandar?

Dalam kecamuk perasaan itu, suatu gerak terjadi dalam kesadaran kita. Ada seorang ahli yang mengatakan bahwa itu adalah gerak “perpisahan” dan ke arah “kediri-sendirian”—separation dan individuation. Di dalamnya ada rasa cemas. Dan rasa cemas itu memerlukan perlindungan. Lalu orang pun menciptakan serangkaian simbol.

Dalam simbolisasi itu kita pun menyebut negeri kita sebagai sebuah “keluarga”. Di pucuk “keluarga” itu ada seorang “bapak”—biasanya raja atau kepala negara. Dengan itu, kita seakan-akan ingin memulihkan apa yang hilang ketika kita berpisah dan menjadi diri sendiri.

Sulitnya, sering simbol itu tak lagi dianggap sebagai simbol. Padahal, sebuah negeri tak pernah merupakan satu keluarga. Seorang kepala negara tak pernah benar-benar sebagai bapak para warga negara. Dan bagaimana menyelenggarakan ekonomi secara “kekeluargaan” bila negara sendiri justru membutuhkan sesuatu yang tak hendak berdasarkan kekeluargaan, yaitu hukum—khususnya hukum yang melindungi hak milik pribadi? Bukankah negara niscaya memerlukan sejenis peranti yang impersonal—yakni birokrasi?

Tapi, adakah di medan perang Kurusetra, arjuna bertindak sebagai birokrat: seorang yang tak memandang mana keluarga dan mana  yang bukan, demi tugas?

Mungkin tidak. Mungkin seorang humanis sejati: ia bimbang berperang bukan karena ia gamang membunuh orang seasal-usul, melainkan karena ia enggan membinasakan orang yang tak bersalah meskipun mereka di pihak lawan. Bisma toh tak bisa dituduh bersalah hanya karena ia sekeluarga dengan Kurawa dan berperang di pihak “sana”. Surutnya sistem kekerabatan dengan demikian bisa membuka pintu ke arah fajar yang lain, di mana manusia bertugas, mati, dikutuk, atau dihargai karena dirinya sendiri. Keluarga dan puak hanyalah sebuah jejak.

3 Agustus 1991
Mahabarata tidak hanya mengisahkan politik kenegaraan, tetapi epos ini lebih menceritakan peristiwa sehari-hari yang terjadi di keluarga kita. Ia membahas hubungan antara suami-istri, ayah-anak, ibu-anak, ayah-ibu-anak, kakak-adik, dan seterusnya. Mahabarata, lebih-lebih lakon Mahabarata yang telah diserapkembangkan dalam wayang, layak dijadikan referensi untuk membina kehidupan rumah tangga yang baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam