14/07/11

leadership


Tanri Abeng, dalam acara Managing the Nation yang baru saja saya tonton, akhirnya menyimpulkan: pertama, bukan science semata-mata, namun manajemen sebenarnya adalah seni; kedua, memimpin birokrasi tidak berbeda dengan memimpin korporasi.

Total menggeluti seni, apapun cabangnya, seseorang akan secara induktif mempelajari kearifan. Jadi manajemen tidak terutama tentang bagaimana merancang satu program tertentu dan menjalankannya secerdas-sekeras mungkin untuk memperoleh hasil sebaik mungkin. Manajemen meminta kerendahan hati dan kepasrahan. Meminjam ajaran Islam, manajemen adalah pemaduan antara rasio dan rasa, usaha dan tawakal. Tangan tuhan menggerakkan segala tindakan kepemimpinan. Maka pemimpin yang berhasil, sudah sangat jelas, adalah pemimpin yang dekat dengan tuhan. Semakin jauh seorang pemimpin dari tuhan, ia akan semakin pongah, sewenang-wenang, dan mengabaikan keadilan.

Keberhasilan sendiri selain diukur berdasar kuantitas, juga diukur berdasar kualitas. Presiden Soeharto berhasil meningkatkan tingkat ekonomi Indonesia ke taraf yang relatif tinggi. Pada masa keemasan kepemimpinan Soeharto, jumlah kelas menengah Indonesia bertambah. Tetapi, trickle down effect tidak benar-benar terjadi. Kelas menengah Indonesia kala itu kurang memikirkan kemiskinan yang mewabah di tataran masyarakat akar rumput. Pemerataan ekonomi tidak menjadi orientasi negara. Kelak, kondisi ini menyebabkan kejatuhan Soeharto. Ditilik dari segi kuantitas, Soeharto berhasil. Namun diperiksa dari segi kualitas, Soeharto gagal.

Realita tersebut menunjukkan bahwa rupanya Soeharto hanya memandang manajemen sebagai science dan bukan seni. Science bertolak dan berpuncak pada matematika. Adakalanya pula science membenci kemanusiaan. Dalam manajemen-sebagai-science terkandung arogansi dan kekafiran. Antitesa sekaligus obat bagi arogansi kepemimpinan adalah dihayatinya manajemen-sebagai-seni.

Manajemen sebagai seni tidak sama dengan kepimpinan yang pasif dan hanyut diseret angin yang tak tentu tujuannya. Seni adalah karsa, kerja, karya, dan darma. Seniman adalah pekerja kreatif. Darma ada karena ada tujuan. Secara kasat mata, seniman terkesan awut-awutan, urakan, liberal, dan hidup seenak perutnya sendiri. Namun jauh di kesunyian batinnya, dengan keyakinan yang teguh, ia sedang berlayar menuju kedirian otentiknya: Dewa Ruci. Dewa Ruci, atau dalam bahasa sehari-hari disebut sebagai hati nurani, merupakan mursyid/guru yang memberi bimbingan bertindak, baik bagi seniman maupun pemimpin-yang-seniman.

Indonesia-modern pernah punya pemimpin-yang-seniman, yakni Presiden Soekarno, Perdana Menteri Hatta, Perdana Menteri Sjahrir, dan Presiden Abdurrahman Wahid. Walaupun mereka sama-sama memimiliki kelemahan, tetapi saya merasa perlu belajar kepada mereka supaya cakap mengharmonikan science dan seni, rasio dan rasa, jalan dan alamat, raga dan jiwa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam