20/07/11

Prematur


Bayi yang sedang berjuang melawan maut di ruang ICU itu adalah bayi yang ganjil. Ganjil bukan karena fisiknya cacat, tetapi karena ia keburu keluar dari rahim ibunya sebelum sembilan bulan.

Ayahnya, yang dari kejauhan melihatnya dengan mata basah yang memerah, hanya menyuarakan diam. Lelaki kurus dan miskin itu tak pernah mengira bahwa anak pertamanya, dan mungkin satu-satunya, akan terlahir prematur.

Bayi prematur adalah suka dan duka. Bayi prematur senantiasa mendapat anugerah kejeniusan pikiran yang di atas rata-rata. Kelak, sewaktu SD hingga SMA, ia selalu masuk jajaran lima besar murid terpandai saban pembagian lapor.

Di satu sisi, kejeniusan pikiran adalah kesaktiannya. Namun di lain sisi, justeru kejeniusan ini yang membelenggu dan menghancurkannya. Hasrat kompetisi dan orientasi prestasinya begitu tinggi. Ia bahagia bila mampu mengalahkan orang lain. Ia ogah mengaku kalah, salah, dan bodoh.

 Pernah ia memperoleh nilai nol dalam ulangan harian Matematika ketika SD. Ia malu. Sangat malu. Ia takut mengalami kekalahan, kegagalan, dan kejatuhan, apalagi bila hal ini terjadi di muka umum. Maka, dengan penghapus pensil, ia menghapus nilai nol yang digores dengan tinta merah itu. Tak terhapus. Cacat tetap tampak. Kertas menipis dan kemudian koyak.

Bagaimana reaksi ayah dan ibunya saat mengetahui cacat tersebut? Heran tapi tak marah. Memberi sedikit nasihat, lalu membiarkan masalah kecil itu lewat. Tetapi ia tak bisa melupakan nilai nol itu. Ia membuat resolusi untuk tidak mendapat nilai nol lagi, dan untuk merahiasakan cacat besarnya.

Sejak saat itu, ia benar-benar mengenal rahasia. Ia mempelajari metode terbaik untuk menyimpan rahasia. Nanti, ketika menginjak usia duapuluhan, ia paham: menyimpan rahasia membawa banyak mudarat daripada manfaat. Metode terbaik untuk menyimpan rahasia sama dengan metode terbaik untuk berdusta. Dusta lebih sering membuahkan keburukan daripada kebaikan.

Lahir prematur, selain memberinya kejeniusan pikiran, juga menyebabkan fisiknya terlalu lemah. Imunitas tubuhnya minim. Ia gampang sekali sakit.

Sebelum masuk SD, beberapa kali ia diopname di rumah sakit. Semasa SD, hampir setiap minggu ia pergi ke rumah sakit. Di masa yang sama, ia juga pernah sekali diopname. Kala SMP, ia masih rajin menemui dokter, perawat, dan apoteker. Sewaktu SMA, ia terpaksa mengonsumsi obat-obatan herbal untuk memperkuat daya tahan tubuh dan untuk menangkal penyakit. Menu makannya amat teratur. Daftar makanan dan minuman pantangannya sudah tidak bisa dihitung jari.

Sakit yang paling mematikan menimpanya saat ia kuliah di Yogyakarta. Pada semester II dan semester VII, ia terjangkit demam berdarah.

Pada demam berdarah pertama, dokter meramal bahwa ia akan meninggal bila tak segera mendapat donor darah. Sementara sahabat-sahabat karibnya, Iwan, Azkan, Okta, dan Edi, terlihat panik mendengar vonis dokter tersebut, ia malah merasa tenang-tenang saja seolah-olah masih akan hidup seribu tahun lagi. Sahabat-sahabatnya sibuk mencari darah. Darah sulit didapat karena golongan darahnya O positif. Meski darah tak kunjung didapat, tapi Izrail belum mau menemuinya. Trombositnya meningkat kembali. Kali ini, ia selamat dari jeratan ajal.

Demam berdarah kedua lebih parah. Trombositnya menurun hingga tinggal 11. Setelah muntah dan berak cair berkali-kali, ia nyaris semaput. Jarak antara dirinya dan kuburan hanya sekilan saja. Memang saat itu ia masih bisa tertawa, namun sahabat-sahabatnya yang setia tahu persis bahwa tertawanya hanya kepura-puraan belaka. Beberapa hari kemudian, keajaiban datang kembali. Trombositnya berangsur-angsur mencapai jumlah normal. Tenaganya mulai pulih.

Sekarang, berkat bantuan sahabat-sahabatnya, ia sudah bisa tertawa dengan jujur. Ia juga sudah hampir merampungkan tulisan ini.

Terima kasih kepada orang tuaku dan kepada sahabat-sahabatku. Terima kasih.

Jogja, 20 Juli 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam