20/07/11

Yayati


 Oleh: Goenawan Mohamad

Beberapa hari setelah jenazah Pandu diperabukan, permaisurinya, Kunti, memanggil kelima anaknya agar datang ke ruang semedi di bagian timur puri besar Hastina.

Dalam kamar itu, di atas lantai batu, pada permadani dari kulit kijang yang putih,  duduk seorang tua. Ia adalah Wyasa, begawan sepuh yang kadang-kadang mampir ke istana—dan selalu diperlakukan dengan sangat takzim oleh siapa pun, sebelum ia segera pergi lagi entah ke mana.

Resi tua itu tak berbaju. Tubuhnya yang kurus, meskipun tak sepenuhnya mengeriput, hanya tertutup kain putih yang diikat dengan sabuk akar. Seutas tali merah yang lusuh menyatukan ujung ubannya di ubun-ubun.

Di sampingnya bersila Widura, pembantu dekat keluarga istana yang sudah dianggap sebagai penasihat resmi. Di sebelah Widura nampak tubuh jangkung Bisma, pangeran setengah umur yang jadi pelindung anak-anak itu. Di sebelah kiri Bisma duduk Destarasta, paman mereka yang buta, yang untuk sementara memegang tampuk kekuasaan.

Dengan suaranya yang lunak, Widura menyuruh anak-anak Pandu itu duduk. “Hari ini Resi Wyasa akan berbicara kepada kalian,” katanya. Lalu ruangan itu sepi.

Anak-anak itu merunduk. Hanya Bima, waktu itu umurnya baru 11 tahun, yang menatap ke orang tua itu. Ia sudah beberapa kali menyaksikan Resi Wyasa datang dan pergi setelah berceramah di ruang semadi, tapi baru kali ini ia melihatnya dari dekat. Apa gerangan yang akan dikatakannya?

Seakan-akan menjawab, Wyasa tiba-tiba berkata, “Saya akan menceritakan kepada kalian, para putra Pandu, tentang Raja Yayati, salah satu pendiri dinasti ini.”

Wyasa sebenarnya bukan seorang juru cerita yang pintar jika kita dengarkan bagaimana ia berkisah siang itu kepada anak-anak Pandu. Isi ceritanya memikat meskipun apa yang  ingin diisyaratkannya dalam cerita itu agak membingungkan siapa pun.

Wyasa bercerita tentang perkawinan antara Raja Yayati dan Dewayani, anak brahmana yang cantik yang ia temukan terpuruk dalam sebuah parit yang dalam di hutan. Dalam cerita ini dikisahkan pula bagaimana Dewayani mendesak Yayati kawin, dan bagaimana akhirnya raja muda itu menurut.

“Yayati adalah seorang yang baik hati,” kata Wyasa. “Tapi tak ada orang yang baik hati yang tanpa kelemahan tertentu. Ia semula menampik desakan Dewayani putri brahmana itu, untuk kawin, tapi kemudian meluluskannya—meskipun ia tahu itu tak diizinkan oleh adat. Dan setelah beberapa tahun ia hidup dengan Dewayani yang keras hati itu, ia diam-diam mengawini juga Sarmista, anak raja yang pernah membuat amarah Dewayani, tapi yang kemudian bersedia mengabdi kepada Dewayani sebagai dayang-dayang.”

Karena perkawinan gelap itu, Raja Yayati pun dikutuk oleh Begawan Sukra orang tua Dewayani, dengan kutuk-pastu yang dahsyat: raja yang baru berusia 43 tahun itu akan segera jadi orang tua renta. Mendengar itu, Yayati pun gemetar. Ia memohon ampun.

Akhirnya Resi Sukra mafhum bahwa apa yang dilakukan Yayati tak cuma berarti nafsu berahi. Di dalamnya ada kehendak mengasihi Sarmista, anak raja yang rela jadi dayang-dayang itu. Sukra pun meringankan kutuknya, dan menghibur raja yang malang itu: “Paduka akan memperoleh kembali usia Paduka bila ada orang muda yang mau menukar ketuaan Paduka dengan umurnya.”

Syahdan. Baginda Yayati pun meminta agar salah satu anaknya mau bertukar usia dengan dia. Si bungsu bersedia: “Tugas Ayahanda adalah memimpin kerajaan ini. Tugas hamba berkorban untuk seorang bapak dan untuk kerajaan ini.” Dengan itu, Yayati pun berhasil kembali ke usia muda, sementara anak bungsunya jadi makhluk yang tua renta.

“Tahukah, anak-anak Pandu, apa yang dilakukan Raja Yayati?” tanya Wyasa. “Yayati tak hanya menggunakan usia mudanya yang kembali itu untuk tugas kepemimpinan, tapi juga menghabiskan waktu di Taman Kubera menikmati perempuan. Ia mengatakan semuanya berguna, dan hidup hanya sebentar. Ia telah mengalami bagaimana rasanya kefanaan, jadi tua.”

Di situ Wyasa berhenti. Ia mendadak bangkit, mohon diri, dan keluar. Seperti biasa, tak seorang pun tahu ke pertapaan mana ia pergi. Yang diketahui Widura dan Bisma ialah kisah Yayati tak diselesaikannya. Dalam riwayat diketahui bahwa akhirnya Yayati insaf: nafsu dan usia muda pun ada batasnya.

Tapi kenapa Wyasa tak menyelesaikan itu? Kenapa pula ia memilih cerita itu untuk para Pandawa yang masih remaja? Pikiran ini melintas di kepala Widura. Ia akhirnya cuma bisa menduga: mungkin Wyasa bukan bercerita kepada si lima bocah. Ia berpesan kepada Destarasta.

Tapi Destarasta hanya diam. Ia seakan-akan tak bersalah, dan tak bisa bersalah, karena kebutaannya dan karena ia merasa diri orang yang sementara.

27 April 1991

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam