18/07/11

Altruisme


Saya mulai tulisan ini dari sebuah pertanyaan: apa yang akan terjadi bila lembaga pendidikan, baik nonformal apalagi formal, tidak secara sadar membangun jiwa sosial (altruisme) anak-anak? Tidak. Masyarakat kita tidak akan menjadi masyarakat barat yang individualis dan liberal. Masyarakat barat, kendati terkenal individualis, mempunyai altruisme yang kadangkala lebih jujur daripada altruisme masayarakat kita.

Nilai tolong-menolong, guyub, dan gotong-royong sudah sangat berakar kental dalam kehidupan sehari-hari kita, meskipun nilai itu kini sedang mempertahankan diri dari pengaruh buruk globalisasi. Di beberapa lokus yang pondasi kulturalnya lebih mantap, nilai komunal itu sedang berdialog dengan globalisasi untuk menciptakan ekspresi-ekspresi budaya hibrid berkarakter negatif ataupun positif.

Bila lembaga pendidikan kita tidak secara sadar membangun altruisme anak-anak, maka individu-individu dalam masyarakat kita akan cenderung egois dan mempertuhankan diri sendiri. Mereka memang menolong orang lain yang sedang tertimpa musibah. Mereka memang hidup guyub dengan tetangganya. Mereka memang ikut bergotong royong, misalnya, dalam pembangunan infrastruktur publik. Mereka memang membayar zakat dan memberi sedekah, bahkan secara berlebihan.

Tetapi, motivasi mereka melakukan segala ragam kebaikan tersebut tidak lagi demi semata-mata untuk menolong orang lain dan mengabdi kepada tuhan. Motivasi bertindak mereka berakar dari egosentrisme-egosentrisme baik yang bersemayam pada alam sadar (consciousness) maupun alam bawah sadar (unsciousness). Mereka ikut gotong royong karena mengharapkan keuntungan sosial, politik, dan finansial tertentu, yang pada gilirannya, akumulasi keuntungan-keuntungan tersebut mereka investisasikan dalam perjudian politik. Mereka menolong orang lain untuk mendapat kamukten dan kamulyan duniawi.

Gejala ini telah menjelma sebagai wabah budaya yang menginveksi nyaris seluruh elemen masyarakat, dari kawula ageng hingga kawula alit, dari guru hingga petani, dari ulama hingga pedagang, dari birokrat hingga rakyat jelata. Peristiwa pemilukada di daerah mana saja membuktikan dengan jelas bagaimana daya serang wabah budaya ini semakin lama semakin ganas. Dengan kondisi sosio-psikologis yang tidak-waras semacam ini, apa yang akan terjadi dengan Indonesia dalam jangka 5, 10, 15 tahun akan datang?

Jika motivasi kita dalam bertindak selalu demi kepentingan pribadi, maka jangan harap akan ada kontrol sosial horizontal dan vertikal yang sifatnya rasional dan konstruktif. Kritik yang riuh rendah dan terkesan herois-moralis akan tetap kita dengar, namun kritik itu digaungkan dalam rangka membunuh karakter lawan politik. Politisi yang merasa citra baiknya diotak-atik, kecacatannya dipublikasikan, dan landasan eksistensialnya digoyang-dibongkar, akan balas dendam dengan memanfaatkan lembaga struktural yang kebetulan ia kuasai.

Akibatnya, konflik pribadi menjalar menjadi konflik struktural dan konflik sosial antaragama, antarsekte agama, antarsuku, antarwilayah administratif. Kita hanya sibuk mengomentari konflik yang sebenarnya sepele tetapi dibesar-besarkan itu. Kemudian, seperti biasa, kita melupakan program pembangunan dan permasalahan substansial negara.

Tanpa penekanan pengajaran altruisme di lembaga-lembaga pendidikan, tokoh-tokoh masyarakat kita juga masih akan memberi saran dan nasihat spiritual, tetapi hal ini dilakukan ala kadarnya saja sebagai lip service, bukan sebagai social service atau theological service, apalagi sebagai aksi nyata dari kesadaran bahwa manusia adalah homo socius-zoon politikon. Kepentingan mereka, lantaran bertindak berdasar egosentrisme belaka, adalah merawat status quo, bukan mengadakan transformasi sosio-budaya yang senantiasa meletuskan berbagai gonjang-ganjing dan, sebab itu, mengancam kemapanan-kenyamanan.

Saya merasakan sendiri dampak dari ketaktulusan kontrol sosial ini. Saya kuliah di salah satu universitas di Jogjakarta. Di “kota budaya yang masyarakatnya berkosmologi agraris” ini, masyarakat tidak dengan serius mengontrol polah-tingkah mahasiswa, sebaliknya, lebih parah lagi, mahasiswa malah tidak sama sekali mengontrol polah-tingkah masyarakat. Kedua belah pihak berjalan menuju tujuannya masing-masing dengan caranya masing-masing.

Sementara itu, kita mahfum, mahasiswa rantau yang rata-rata berumur belasan atau duapuluhan tahun ke atas belum terlalu mahir merumuskan tujuan. Walaupun beberapa di antara mereka telah mahir merumuskan tujuan, cara mereka untuk mencapai tujuan tersebut acapkali keliru. Tidak salah lagi, ini menimbulkan berbagai tindak kriminal dan amoral. Hanya mahasiswa yang memiliki kecerdasan batiniah mumpuni saja yang berhasil menyelamatkan diri dari malapetaka ini, dan menyalurkan idealisme yang berjalin kelindan dengan heroisme-advonturisme melalui kanal-kanal kreativitas. Sayangnya, jumlah mahasiswa model begini amat sangat sedikit sekali.

Patut dicatat, kondisi sosial Jogjakarta ini tidak bisa dipukul rata begitu saja. Ada juga dusun atau dukuh di mana masyarakat dan mahasiswanya, dengan sadar diri, mengupayakan kontrol sosial. Mereka saling belajar bersama dan saling membangun. Ada pula tokoh masyarakat yang meluangkan waktu memberi kritik saintifik dan saran profetis kepada mahasiswa. Tetapi “faktanya”, kebanyakan “manusia” yang hidup di Jogjakarta mendahulukan sikap abai daripada altruis, seraya berkata dalam hati: “ngapain ngurus orang lain, ngurus diri sendiri saja repotnya minta ampun. Yang penting saya bahagia dan nggak ngganggu orang lain.”

Apa semua ini pertanda Jogjakarta telah kehilangan jati diri?

Jogja, 19 Juli 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam