01/07/11

Sangkan Paraning Ngelmu


: Sebuah Percakapan Sunyi

Ada yang tiba-tiba bicara: matematika adalah ilmu yang diutus tuhan untuk menangkal ketakutan dan kecemasan, serta membina kehidupan. Ah, tidak. Bukan demikian. Matematika adalah ilmu yang diutus raja iblis untuk mengekalkan ketakutan dan kecemasan, serta menghembus bau kamatian dalam pikiran manusia. Itulah mengapa, pada algoratima dan kemudian cellular automata, matematika memuja angka 1 dan 0. “1” merupakan lambang dari kompetisi, survivalitas, dan kemenangan. “0” merujuk pada kekosongan, kehampaan, kesia-siaan, dan berulangnya kepahitan yang menyakitkan, menjemukan, menjengkelkan.

Siapapun yang tiba-tiba, entah dengan pertimbangan nalar atau sekadar dorongan naluri, berbicara negatif tentang matematika, ia telah kurang memeriksa bahwa matematika hanya satu bagian dari semesta ilmu. Oleh sebab matematika adalah ilmu, maka ia bermuka dua sebagaimana ilmu-ilmu lainnya.

Pada dasarnya ilmu sekaligus baik dan jahat, malaikat dan iblis. Ilmu akan membawa manusia pada kemolekan realitas. Namun ilmu akan pula menggelincirkan manusia pada keburukrupaan realitas.

Jadi tidak sedikit dan tidak ringan konsekuensi yang harus ditanggung seorang ilmuan atau ulama atau intelektual. Ia memutuskan bagaimana wajah kehidupan manusia di masa akan datang. Jika misalnya saat ini manusia sedang terpaksa bertarung melawan kemarahan alam sampai harus berada dalam keadaan eksistensial yang begitu terjepit, maka hanya ilmuan yang sanggup melapaskan manusia dari keterjepitan tersebut, meredakan kemarahan alam, dan menyusun arsitektur budaya yang aman, nyaman, tentram.

Tetapi jumlah ilmuan yang sadar-diri seperti ini tak seberapa. Kita malah sering mendengar masyarakat mengeluhkan ketakbecusan dan keculasan yang tidak saja dilakoni oleh kebanyakan ilmuan kita, namun juga sebagian besar guru yang mendidik ilmuan-ilmuan itu. Saking cintanya pada kahidupan [pribadi], mereka mendayagunakan ilmu untuk membunuh apa saja yang tampak hidup dan tampak akan hidup, mereka memperalat ilmu sebagai keris bunuh-diri. Dalam drama ini, ilmu memamerkan muka iblisnya.

Justeru perkara fundamental begini yang jarang diperbincangkan di sekolah dan kampus. Kebiasaan sebagai konsumer barang jadi barangkali memberi petunjuk kepada kita untuk tidak mengenal hermeneutika ilmu dan untuk hanya mengonsumsi segala produk ilmu, yang di dalamnya terpendam relasi kuasa, secara serabutan, tergesa-gesa, dan mentah-mentah.

Bahkan hingga saat ini, setelah ruang kebebasan kreatif lebih terbuka, Rendra masih benar: kita hanya membeli diktat-diktat dan rumus-rumus, tanpa tahu benar untuk apa dan mau diapakan barang-barang mahal itu. Kita hanya repot dan sibuk membeli pakaian, makanan, tontonan, dan informasi, tanpa tahu benar kenapa produk-produk instingtual tersebut dirancangcipta. Kita ternyata lebih menikmati naik taksi yang dikemudikan oleh ketaksadaran daripada menunggang becak yang dikayuh dan disetir oleh kesadaran.

Eh, eh, lha kok ndelewer ke mana-mana...


Juni 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam