28/07/11

saya salah


Karena bermimpi, saya sudah mencapai beberapa keberhasilan. Karena bermimpi pula, saya sudah menderita beberapa kegagalan. Mudah menjawab mengapa saya berhasil. Namun sukar menjawab mengapa saya gagal, bagaimana saya bisa mengubah kegagalan menjadi keberhasilan, apa yang mesti diperbuat agar tak mengalami kegagalan berikutnya. Lebih sulit lagi menjawab apa ukuran keberhasilan dan kegagalan sesungguhnya.

Dulu, saya memiliki mimpi yang muluk. Anak-anak muda menyebutnya sebagai revolusi. Bahkan sampai sekarang, saya tak paham benar apa arti kata yang baru saya kenal tiga tahun silam itu. Tampaknya, saat itu, saya mensinonimkan revolusi dengan kemenangan dan kegagahan, atau sakit hati dan balas dendam.

Bersama beberapa kawan yang “seideologi”, saya mencoba mengejawantahkan mimpi itu, dengan semangat yang menyala-nyala, dengan lagu-lagu yang berkobar, dengan teriakan-teriakan yang panas, dengan kata-kata yang mengguntur. Saya terus merawat mimpi itu dengan berbagai sikap dan tindakan yang tentu saja saya anggap ideal dan benar.

Hampir setiap minggu saya berdemonstrasi, kadang di lingkungan kampus, kadang di tengah-tengah jalan protokol, kadang di depan kantor pemerintahan; kadang bersama para mahasiswa yang konon pahlawan, kadang bersama buruh yang konon melarat, kadang bersama PKL yang konon terdiskriminasi, kadang bersama jurnalis yang konon dipersempit kebebasan ekspresifnya, kadang bersama petani yang konon ditindas.

Hampir setiap hari saya, dengan teori yang canggih yang tak saya ketahui substansinya, menganalisis situasi. Lalu saya menemukan banyak permasalahan dan mencoba membuat langkah-langkah penyelesaian yang mungkin dan tak mungkin. Saya juga menyalahkan para negarawan, ekonom, budayawan, agamawan, dan lain sebagainya, sambil, secara tak disadari, membenarkan pikiran dan tindakan pribadi. Saya secara berkala bahkan mengkritik dan menguji strategi perang yang sebelumnya telah saya rumuskan. Saya telah sangat yakin bahwa saya berada di pihak yang benar dan telah bertindak dengan metode yang benar. Orang lain yang tak “seideologi” dengan saya sudah pasti salah dan harus diberantas.

Pertama-tama, saya merealisir strategi perang atau mimpi revolusi itu di kampus. Dua tahun mencoba dan saya gagal. Saya kemudian merenung: Mengapa gagal? Apa dan siapa yang salah?

Lama saya berpikir dan terus berpikir. Akhirnya, sebuah kesimpulan ditarik: Tak ada yang bersalah, kecuali saya sendiri. Proyek saya gagal karena saya keliru dalam berpikir dan salah dalam bertindak. Saya kemudian membuat resolusi untuk memperbaiki diri. Saya susun ulang mimpi saya.

Saya bongkar pandangan-dunia yang sebelumnya telah susah payah dibangun. Saya, dengan berpuisi, mulai mengadakan kritik-diri dan kritik-sosial secara lebih intensif dan mendalam. Pada fase ini, saya mengalami kegamangan dan kehampaan yang parah, sebab saya menghancurkan sandaran eksistensial saya sendiri dan, pada waktu yang sama, mengotak-atik sandaran eksistensial masyarakat. Rasanya, seperti duduk di atas asap, berjalan di atas angin. Sendirian terdampar di pulau paling sepi.

Tepat pada saat kosong seperti ini, seorang teman menawari kerjasama yang baik. Komunitas mahasiswa Jambi, menurutnya, perlu dikembangkan dan dimajukan. Langkahnya, katanya, dengan latihan jurnalistik. Tanpa berpikir masak-masak, spontan saya terima tawaran ini. Saya berharap, mimpi saya bisa sedikit terwujud di komunitas mahasiswa Jambi.

Saya pun mulai mencoba. Awalnya cukup lancar. Kemudian timbul beberapa rintangan kultural kecil yang ternyata makin lama makin membesar. Mensiasati rintangan itu, saya sedikit merubah taktik: barangkali diskusi puisi dan budaya bisa diterima secara lebih luas. Ini sebagai pintu masuk. Jika tradisi diskusi telah kuat, saya akan melanjutkan dengan pembangunan tradisi tulis, tradisi seni, kemudian tradisi aksi sosial.

Ternyata, lagi-lagi harapan saya kandas. Medan tak semudah yang saya bayangkan. Jalan tak semulus yang saya pikirkan. Saya sendiri, yang seharusnya mampu menjaga keseimbangan, juga limbung, terpeleset, jatuh, ikut hanyut terseret arus.

Kembali saya merenung. Bertanya kepada diri sendiri: mengapa gagal? Siapa salah? Apa kesalahannya? Dan saya memperoleh kesimpulan lama: Saya yang salah. Saya kurang sabar, kurang tekun, cetek pikir, sempit hati, terlalu sedikit bekerja, dan yang terpenting, masih egoistis. Saya tidak adil baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain.

So?
Jogja, Juli 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam