22/07/11

Semar


Oleh: Goenawan Mohamad

Semar: kita tak pernah tahu persis biografinya. Wajahnya jelek, bahkan grotesque, hidungnya mepet dan perutnya menggelembung, pantatnya menggunung dan tangannya pandak, gombyor seperti tubuhnya: semuanya menunjukkan bahwa ia tak datang dari kalangan Arjuna ataupun Suyudana. Tidak, ia tak datang dari lingkungan para bangsawan yang sadar akan gaya. Ia tak lahir dari trah genetik yang terpilih unggul, secara fisik, dalam sejarah. Ia tak pernah dilatih untuk tegak dengan postur yang anggun, tak dididik untuk tahu apa artinya penampilan. Tapi ia, bukan orang sembarangan, muncul dalam cerita Pandawa dan Kurawa yang dikenal di Jawa dan Sunda, meskipun tak pernah ada dalam Mahabarata yang dikisahkan Vyasa.

Semar: sebuah misteri. Laksono, seorang dosen antropologi di Universitas Gadjah Mada yang saya kenal dalam pelbagai diskusi, pernah menyebutkan ambiguitas Semar: tokoh ini perempuan tapi juga lelaki, duduk tapi juga berdiri. Semar (sebagaimana kita kenal dalam wayang Jawa) adalah seorang dewa yang luhur tapi juga hamba: suatu fenomena yang majemuk yang—apa boleh buat—tidak kita lihat di layar televisi kita. Penampilannya di TVRI setiap minggu, dalam acara Ria Jenaka, telah disederhanakan: Semar menjadi tokoh satu-sisi.

Disederhanakan, atau lebih tepat dikurangi, direduksikan. Di layar televisi itu Semar adalah sang ayah. Ia dipanggil romo—panggilan yang sangat hormat untuk seorang bapak, seorang guru yang juga pendeta. Maka, di layar televisi itu Semar bukan saja semata-mata seorang pria; ia juga seorang yang sudah bisa diduga perannya. Ia tampak selalu pandai berpetuah, sopan sekali, dan tak kontroversial. Ia tertib. Ia tokoh konsensus. Di dalam perutnya yang buncit seakan-akan ia simpan rumus-rumus tentang kebenaran, yang pada tiap akhir episode dikemukakan: rumus yang diterima dengan patuh, bahkan secara otomatis, oleh Petruk, Gareng, Bagong—sosok-sosok yang riuh, kacau, berbeda-beda. Selalu, di ujung cerita, mereka, keragaman itu, pada akhirnya hanyalah anak-anak yang disatukan oleh discoursei Semar, sang romo.

Di layar televisi itu—seperti banyak hal lain di layar televisi—Semar kita pun jadi fenomena yang datar, klise, tak menggugah, tak pula lucu. Dalam dirinya tak tampak lagi permainan, pertautan, dan paradoks yang asyik antara abdi dan dewa, antara badut dan pengritik, antara si Kabayan dan cendekiawan. Kita tak lagi melihat semar dengan senjata saktinya yang lain dari yang lain: kentutnya yang meletup besar—suatu ekspresi kekurangajaran di tengah-tengah keserba-halusan, sesuatu yang tak disangka-sangka di tengah stabilitas adat dan adab. Dengan kata lain, kita tak lagi melihat Semar yang subversif: Semar yang memasukkan, terkadang tanpa kita sadari, ketidakpastian di dalam gairah untuk kepastian.

Mungkin itu bukan semata-mata karena televisi. Mungkin itu kecenderungan yang sekarang ini sedang merajai pandangan (dan kepentingan) tentang hidup. Takut akan kedalaman misteri. Ngeri kepada yang aneh, yang lain, yang tak jelas golongan dan asal-usulnya. Gentar terhadap sebuah sosok yang pria tapi juga perempuan, duduk tapi juga, pada saat yang sama, berdiri.

Dalam ketakutan akan yang berbeda dan yang tak jelas itu, kita pun dengan gampang menyerahkan diri kepada yang gaib: kita datang ke Gunung Kawi yang angker untuk memperoleh petunjuk. Atau, kalau tidak, kita memilih memandang dunia dengan bersandar aman pada kategori, identitas, dan dalam hal seperti Semar, pemikiran “biner”: ada “perempuan” dengan sifat-sifat “keperempuanan”-nya, ada “laki-laki” dengan sifat-sifat “kelelakian”-nya; ada “barat”, ada “timur”. Dengan itu kita sebenarnya ingin membuat satuan-satuan yang homogen, sosok satu-sisi, dengan pusat dan wilayah yang tunggal,  yang selalu berpedoman pada kesatuan-dan-persatuan masing-masing. Dengan itu kita sebenarnya ingin melihat Semar yang tak samar.

Tapi Semar yang tak lagi samar adalah Semar yang bukan dirinya sendiri. Semar yang sejati, yang 100% hidup, adalah Semar yang maknanya tak bisa hanya dirumuskan sekali dan untuk seterusnya, melainkan Semar yang maknanya bergerak dalam perubahan dan perbedaan, dan sebab itu selalu belum selesai, selalu tertunda. Kini kita seakan-akan lebih menyukai sebuah subjek yang mati dan kering.

Subjek yang macam inikah, subjek yang telah dijinakkan dan telah menjadi homogen itukah, yang kita butuhkan pada zaman ini? Sayang. Semar yang tua: ia memang terlampau dahsyat untuk mereka yang hanya mau praktis dan dapat hasil—dengan klenik, dengan pelbagai kepatuhan, dan dengan teknologi.

23 Oktober 1993
The prophet of Java ini adalah satu bagian dari tritunggal wayang: Manikmaya (Betara Guru)-Ismaya (Semar)-Antaga (Togog). Tiga putra Sang Hyang Tunggal ini berasal dari satu telur: Betara Guru adalah kuning telur, Semar adalah putih telur, dan Togog adalah cangkang telur. Tritunggal wayang ini hampir sama dengan trimurti Hindu: Brahma-Wisnu-Syiwa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam