24/07/11

Kelir


Oleh: Goenawan Mohamad

Mijil langenira
Sang nerpati
lampahira alon

Suara dalang menggeletar, mengantar adegan di kerajaan besar Dwarawati. Di layar, Baginda Kresna sedang dihadap kedua patihnya. Suasana anggun, mayestis, hadir dari suluk yang ditembangkan itu. Penonton pun terdiam. Bangsal di Sitihinggil Keraton Yogyakarta itu memang sesak—kurang-lebih 1.000 hadirin melimpah sampai ke luar pintu—tapi orang-orang ini seperti tak hendak lepas dari kelir putih dan wayang warna-warni yang dihidupkan oleh Ki Manteb, dalang piawai dari Sala itu.

Apakah sebenarnya Kresna, Baladewa, dan Samba bagi Ki Manteb? Dan apa Ki Manteb dan segala tokoh ceritanya bagi para penonton ini? Duduk di antara jejal hadirin, di salah satu kursi seng warna hijau yang berderet dalam ruangan yang sudah tampak lusuh itu, saya tiba-tiba merasa dipergoki oleh pertanyaan itu—seperti pertanyaan dalam gumam Hamlet, ketika tokoh cerita Shakespeare itu menonton serombongan aktor yang asyik memainkan Hekuba.

Saya—sebagian dari penonton—rasanya tahu apa jawabnya. Kami tertawa, atau terharu, atau bahkan bertepuk, sebab antara Kresna dan Ki Manteb, antara dalang dan wayang, antara dalang, wayang, dan kami, ada sebuah dunia yang telah terbentuk lama sekali. Hanya ada satu perekat yang ampuh yang mengaitkan unsur-unsur itu: seperangkat imajinasi, yang menjadi milik bersama, setelah jalin-menjalin melalui sebuah sejarah. Sejarah itu adalah riwayat sebuah kebudayaan.

“Saya tak tahu apa yang dipikirkan orang-orang asing yang melihat suasana pertunjukan ini,” bisik seorang kawan yang duduk di sebelah kiri saya, ketika menyaksikan beberapa turis asing berada di antara hadirin.

Ya, apa gerangan yang bisa mereka nikmati, selain sebuah suasa eksotis yang menakjubkan? Tidak mudah untuk “masuk” ke dalam jalinan imajinasi bersama di bangsal Sitihinggil malam itu, bila Anda seorang yang tak dibesarkan di dalam lingkungan sosial budaya Jawa. Apa boleh buat. Wayang kulit hanya punya sebuah pentas bersahaja: sebuah layar yang tak begitu luas. Tetapi di antara kedua tepinya, berlangsunglah satu kehidupan yang intens: hidup dan kematian tokoh-tokoh Mahabarata atau Ramayana, yang wajah dan tubuhnya ditatah dengan stilisasi yang plastis (meskipun cuma di atas bidang dua dimensi), gerak yang hampir sepenuhnya seperti tarian ekspresif, dialog yang diucapkan secara memikat, suluk yang menggetar seperti puisi liris yang paling murni....

Pendek kata: bunyi, suara, warna, cahaya, bentuk, gerak, yang beragam dan berganti-ganti, tetapi seluruhnya menampilkan sebuah kesatuan gaya yang utuh—yang juga tidak serta-merta gampang untuk memukau setiap orang.

Sebab jelas: intensitas yang berlangsung di atas kelir sederhana itu bagaimanapun juga menggunakan sejumlah idiom yang hanya bisa intim dengan kita apabila kita mengenal jejak dan sumbernya. Kita tidak cukup hanya mengetahui jalan cerita yang disajikan. Kita tidak cukup hanya mengenali sosok, wajah, watak, dan posisi para tokoh yang ditatah di atas kulit itu. Kita tak cukup hanya merasa terbiasa dengan Kresna yang mbranyak tapi bijak, Baladewa yang gagah tapi pemarah, Samba yang muda dan penuh percaya-diri.... Kita juga harus terbiasa dengan mood sebuah gending yang dibawakan para penabuh gamelan, suasana yang bergema dari sebuah suluk, karakter yang tampak dari sebuah gerak. Dan tentu saja kita harus terbiasa dengan ungkapan-ungkapan verbal yang, dalam penceritaan Ki Dalang, selalu sarat dengan keragaman kata dan bunyi, dengan sinonim yang berlapis-lapis.

Dalam arti itu saja, wayang kulit adalah sebuah kesenian yang menakjubkan: ia sebuah produk yang penuh paradoks. Ia mempunyai segala unsur “kesenian tinggi”—misalnya puisi dalam tembang, kompleksitas dalam iringan gamelan. Tapi ia bisa dinikmati oleh hampir seluruh lapisan masyarakat, tak cuma mereka yang akrab dengan sastra yang adiluhung. Ia bisa mengisahkan cerita tragis yang menggugah kita untuk merenung, tapi ia juga bisa berisi banyolan yang murahan dan petuah pesanan yang membosankan.

Di bangsal Sitihinggil malam itu, Ki Manteb menghadirkan seluruh paradoks itu. Tapi pada akhirnya, memang,  kebersamaan hidup dalam imajinasi yang terjalin oleh waktu itu yang membentuknya menjadi sesuatu yang bermakna. Imajinasi dan sejarah: dua hal yang kini justru terancam untuk dilecehkan, ketika itu kita ingin lepas landas dengan mesin-mesin yang mengaum tentang sebuah masa depan.

27 Maret 1993

Wayang, yang sejak kelahirannya telah berperan sebagai ruang publik, adalah kesenian yang sangat potensial dikembangkan menjadi media diplomasi budaya. Kelak, wayang boleh jadi akan mengambil lakon dari drama Shakespeare, novel Tolstoy, atau epik Homeros. Suluk­­-nya akan mengadopsi puisi-puisi Goethe, Neruda, dan seterusnya. Gendingnya akan merupakan kolaborasi dari gending Jawa dengan musik jazz atau bahkan country.

Ruang publik dibangun dari imajinasi, tetapi, seperti biasa, imajinasi selalu saja dihalangi oleh pakem yang tak boleh dilanggar. Ada yang bilang, perkembangan wayang hingga mencapai bentuknya yang sekarang, berawal dari pelanggaran dan pemberontakan atas pakem.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam