20/07/11

Pemimpin


Apa yang paling diperlukan oleh seorang pemimpin? Tiga hal: iman, islam, dan ihsan. Tiga prinsip asasi ini sebaiknya dipahami secara holistis dan unisitis, tidak secara hirarkis. Siapa memiliki iman tinggi, ia pun memiliki martabat ihsan dan islam yang tinggi pula.

Dengan kapasitas keilmuan saya yang demikian dangkal, saya akan mencoba membedah tiga prinsip ini satu per satu. Saya insyaf, penalaran saya mungkin sekali akan sarat dengan kesalahpahaman, ketakrasionalan, dan ketaklogisan. Karena itu, saya harus berani mengakui sifat kebelumfinalan dan kesementaraan hasil penalaran saya.

Iman adalah keyakinan dan harapan. Tanpa iman, seorang pemimpin akan tak tahu diri, lupa diri, kemudian hilang diri. Ada dan tiadanya tak membawa manfaat dan arti. Justeru di mana-mana orang ingin agar ia segera ditiadakan, karena keberadaannya lebih menyusahkan masyarakat daripada menolong masyarakat. Ia tergolong manusia haram.

Iman terbagi dua: iman yang benar dan iman yang salah. Iman yang benar adalah hujan yang jatuh setelah kemarau setahun. Iman yang salah menimbulkan kesadaran yang salah (false consciousness).

Iman yang salah adalah sangkar bagi burung garuda. Sangkar selalu membatasi kemerdekaan dan mengebiri segala potensi kreatif yang dimiliki pemimpin. Keajaiban tidak bisa diharapkan dari pemimpin yang menganut iman yang salah. Sebab, ia kelewat kalkulatif dan menyangkal, bahkan memusuhi, ketakterdugaan.

Ia lebih menyukai kepastian. Padahal, kecuali dalam pikirannya sendiri, kepastian tak dapat ditemukan. Realitas empiris merupakan rentetan dari ketakpastian demi ketakpastian. Kesukaan kepada kepastian ini ialah bibit dari berbagai kekerasan. Menyangkal kelemahan manusia dalam menghadapi ketakterdugaan, Amangkurat I, Hitler, dan Soeharto pun melakukan beragam tindakan kekerasan.

Islam adalah jalan keselamatan. Hanya dengan mengikis habis ego negatif, islam dapat dicapai. Ego negatif bersumber dari rasa memiliki. Rasa memiliki dapat ditaklukan dengan menyadari bahwa segala apa yang dimiliki adalah milik tuhan semata. Bahkan diri yang merupakan kesatuan antara ruh dan tubuh adalah milik tuhan juga.

Dalam sistem teologi seperti ini, manusia tidak punya hak milik. Manusia hanya punya hak pakai. Sebagai pemakai, manusia bertanggung jawab terhadap barang yang dipakainya. Barangkali, ini adalah alasan kenapa di dalam Ka’bah tidak terdapat apa-apa kecuali kekosongan, keheningan, dan kebisuan.

Bila rasa memiliki telah mampu ditaklukkan, akan mudah bagi seorang pemimpin untuk berserah diri, untuk menjadi muslim. Posisi muslim berada di atas kegagalan dan keberhasilan, kemenangan dan kekalahan, keuntungan dan kerugian, mimpi dan kenyataan, keramaian dan kesendirian.

Baginya, tak ada lagi dikotomi. Segala yang tampak kontradiktif menyatu dalam keharmonian. Segala permasalahan yang timbul karena perbedaan, dapat diatasi dengan cara yang merdu.

Jadi makna muslim tidak bisa, dan jangan sampai, direduksi hanya sebagai orang yang memeluk agama islam. Muslim sejati hidup secara bersahaja, mengalir menyesuaikan diri dengan hukum alam, dan tidak silau oleh pesona indrawi. Perintah berkorban diikuti dan dituruti saja oleh Ibrahim dan Ismail, tanpa banyak membantah. Iman dan Islam tidak dapat, dan tidak mungkin, dipisahkan.

Ihsan adalah penyaksian (syuhud) dan  kerendahan hati (sujud). Muhsin menyaksikan bahwa semua yang ada adalah tuhan. Menghayati diktum mistik ini, seorang pemimpin akan menghargai dan menghormati hak asasi setiap manusia, bahkan setiap makhluk. Melukai orang lain sama dengan melukai tuhan sama dengan melukai diri sendiri. Membunuh orang lain sama dengan bunuh diri. Sulaiman menghargai eksistensi pasukan semut. Ia dan jajaran tentaranya tidak menginjak semut-semut itu.

Bila tak mampu menyaksikan, seorang pemimpin harus menyadari bahwa dirinya sedang disaksikan atau dipantau oleh tuhan. Berbeda dengan manusia yang sering lupa dan alpa, tuhan tak pernah absen. Manusia sering lalai menilai dan mengkritik diri. Pemimpin yang muhsin dijamin jauh dari penyakit congkak, tamak, dusta, dan korupsi.

Setelah menyaksikan atau disaksikan, seorang pemimpin akan mengendalikan dirinya (puasa). Ia berusaha hidup dalam kerendahan hati. Ia berupaya untuk selalu sujud dan menghindari kesombongan. Kesombongan menghapus ingatan akan jasa baik orang lain. Penyebab alienasi adalah kesombongan.

Syuhud dan sujud melahirkan cinta yang jujur. Kemudian, pengabdian, kesetiaan, dan komitmen akan terwujud begitu saja. Was-was, kecemasan, kekhawatiran, dan ketakutan akan tersapu bersih sebagaimana hujan deras yang menyapu butiran pasir di atas batu.

Jadi, bila seorang pemimpin mempunyai iman, islam, dan ihsan, apa yang akan terjadi dengan wilayah yang dipimpinnya? Tentu tidak seperti Indonesia saat ini.

Jogja, 19 juli 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam