20/07/11

devide et impera


Counter strategy dari devide et impera adalah bhineka tunggal ika, lebih generalnya, pancasila. Jadi pancasila bukan hanya merupakan ideologi yang secara terus-menerus dituduh bertolakbelakang dengan Islam dan Komunisme. Pancasila juga strategi politik dan diplomatik. Dan memang, secara historis, kelahiran pancasila dimaksudkan untuk menuntaskan perpecahan ideologis, bahasa, suku, dan agama yang direkayasa oleh Belanda.

Dengan strategi devide et impera (belah dan kuasai), Belanda mengintervensi dan menguasai ekonomi-politik nusantara. Untuk devide, belanda membutuhkan orang-orang seperti Hazeu, Hurgronje, Van Vollenhoven, dan seterusnya. Mereka adalah para ilmuwan sosial yang expert dalam bidangnya masing-masing dan memiliki reputasi akademik internasional. Kemajuan Belanda dalam kebudayaan dan ilmu pengetahuan adalah modal utama bagi kerajaan kecil itu untuk menguasai Indonesia.

Strategi devide et impera berhasil diaplikasikan karena Indonesia bukan kesatuan politik yang cukup homogen seperti Cina dan Iran. Indonesia adalah nama lain bagi keberagaman. Perbedaan simbolik yang berpangkal dari perbedaan filosofis selalu menjadi pemantik konflik atau sarana konflik laten di nusantara sejak, sepanjang yang saya ketahui, kerajaan Hindu-Buddha.

Sriwijaya dan Majapahit juga bingung menghadapi perang internal kerajaan dan pemberontakan lokal yagn dilancarkan daerah-daerah vasal. Banyak dari perang ini disebabkan pembagian jatah politik yang tak adil yang memuncak sebagai ekspresi sakit hati. Seperti biasa, para pemimpin politik yang sakit hati ini lalu memobilisir basis politiknya untuk menekan, dan bila perlu, menggulingkan kekuasaan pusat. Penyatuan basis politik itu seringkali menggunakan daya ideologis dari agama/adat.

Agama/adat, pada hakikatnya, tidak pernah mengajarkan dan menganjurkan perang. Tetapi simbolisme agama/adat, secara politik, merupakan modal budaya yang sangat tepat digunakan dalam rangka “menyatukan untuk berpisah” dan “memisahkan untuk menyatukan”. Yang pertama adalah strategi dari para pemimpin politik di zaman kerajaan. Yang kedua adalah strategi devide et impera Belanda.

Barangkali sumpah palapa patih gajah mada adalah solusi praktis dari pertikaian politik yang seolah-olah tidak akan pernah selesai. Sampai saat ini, data sejarah bahwa militerisasi Majapahit di bawah komando Gajah Mada telah memakan banyak korban jiwa memang belum diketemukan. Jika pun telah diketemukan, proses publikasinya akan mengalami berbagai hambatan karena Gajah Mada telah telanjur dimitoskan. Tetapi saya yakin, gerakan militerisasi selembut apa pun, pasti akan meminta tumbal, apalagi militerisasi yang berambisi menyatukan wilayah politik seluas nusantara.

Menggunakan cara militer, Gajah Mada berhasil mengikat nusantara di bawah soverenitas Majapahit. Namun sudah menjadi hukum sejarah, kekerasan bakal dibalas dengan kekerasan. Bukan tidak mungkin bahwa sesudah periode Hayam Wuruk, bergejolak pemberontakan lokal yang intensitas dan pesebarannya tak diramalkan sebelumnya. Kondisi chaotic ini mungkin analog dengan kondisi Indonesia pasca-proklamasi atau pasca-Soeharto.

Para intelektual simbolik yang prihatin dengan ontran-ontran tersebut berusaha mencegah terjadinya perang akbar yang bisa-bisa meruntuhkan Majapahit. Caranya, menyusun kitab-kitab sastra yang isinya memperdamaikan perbedaan ideologis antaragama, antarsuku, antarwangsa, antaradat, dan sebagainya. Cara lainnya adalah mengkreasi media kultural baru, misalnya tari-tarian sinkretik yang menyelaraskan dua atau tiga unsur adat/agama sekaligus. Pada masa itu, dikarang kitab-kitab seperti Sutasoma dan Negarakertagama. Di dalam Sutasoma, terdapat lafadz: bhineka tunggal ika. Lafadz ini kemudian dikutip sebagai motto bangsa Indonesia.

Tetapi, pada era berikutnya, Indonesia melupakan warisan sejarah yang amat berharga ini. Perbedaan kembali menimbulkan peperangan, bukan melahirkan kreativitas yang membangun dan membanggakan. Belanda tak menyia-nyiakan kesempatan ini. Devide et impera dijalankan. Indonesia pun keok sekeok-keoknya, bahkan hingga saat ini.

Apa sekarang strategi devide et impera masih berjalan di Indonesia? Apa pancasila, setelah terdelegitimasi sedemikian rupa, masih berfungsi sebagai counter strategy? Jika kewibawaan pancasila telah sirna, lalu?

Jogja, 19 Juli 2011

Gambar sampul buku Kakawin Sutasoma yang diterbitkan ulang oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Bali. Doktrin Bhineka Tunggal Ika sebenarnya setali tiga uang dengan doktrin unisitas Ibnu Arabi, yakni rasionalisasi dari logika  nir-kontradiksi. Abdurrauf Singkel mempelopori penyebarluasan doktrin ini di nusantara. Doktrin ini juga tervisualisasikan pada tokoh Semar dalam pewayangan Jawa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam