20/07/11

Srikandi


Oleh: Goenawan Mohamad

Setelah sadar bahwa ia telah membunuh Bisma dalam pertempuran sore itu, Srikandi pun menghilang. Tak banyak orang melihatnya, ketika prajurit rupawan yang tangkas itu turun dari keretanya, lalu berjalan menuju ke sebuah kemah di sudut utara Kurusetra, di dekat bukit. Tak ada yang nampaknya peduli.

Semua orang berhimpun dekat tubuh Bisma, ksatria tua yang gugur itu. Sore segera jadi senja yang muram. Para Pandawa, yang seharusnya bergembira karena panglima pasukan musuh itu gugur, ikut murung. Bisma, bagaimana pun adalah moyang mereka sendiri. Mereka menghendaki ia kalah, tapi mati? “Bisma,” kata pangeran sulung Pandawa, Yudistira, seperti kepada dirinya sendiri, “adalah sesuatu yang mulia, dan akhirnya ia juga hilang di tengah nafsu kita yang berkecamuk di medan ini.”

“Ya,” kata Arjuna sedih, “Bisma mati. Kita, semua, akhirnya kalah.”

Di kemah yang tak berbendera itu, Srikandi mengganti pakaiannya yang penuh cipratan darah, lalu membasuh paras dan rambutnya. Sejenak ia memandang ke cermin. Adakah ia bangga? Adakah ia kecewa? Adakah ia menyesal dan ikut murung? Ia sendiri tak tahu.

Ia telah banyak mendengar cerita tentang keluhuran hati orang yang dibunuhnya di medan tempur tadi. Ia ingat sesaat sebelum melepaskan anak panahnya ke bagian leher lelaki tua yang gagah yang dihadapinya itu: ia tak tahu ia akan menumbangkannya. Ia hanya tahu satu kemungkinan lain: bahwa dialah yang akan tewas.

Adakah orang akan bersedih, adakah kedua kubu akan murung, seandainya dia yang mati, dan bukan Bisma? Tidak. Arjuna, yang pernah berbagi cinta dengannya, mungkin akan merunduk. Tapi kehilangan? Lelaki itu, di peperangan itu, akan lebih mengkhawatirkan nasib anak-anaknya yang ikut bertempur, juga saudara-saudaranya yang harus mati membunuh atau dibunuh. Bagaimana Arjuna akan sedih untuk kematiannya?

Srikandi meletakkan tubuhnya yang capek di pembaringan di sudut kemah yang lengang itu. “Aku telah menyelesaikan tugas,” katanya dalam hati. “Tapi tugas untuk apa akhirnya, aku tak tahu.” Ia mencoba memejamkan mata.

Bisma. Ia telah mendengar bagaimana lelaki tua itu—ketika masih sebagai pangeran muda dengan nama Dewabrata—melakukan sumpah yang berat tapi agung: ia relah melepaskan tahta meskipun ia putra mahkota. Ia rela demikian agar ayahnya, Baginda Santanu, bisa berbahagia menikahi seorang permaisuri baru, Satyawati. Dewabrata bahkan rela bersumpah tak akan menikah seumur hidup, akar anak cucu Satyawatilah yang akan meneruskan tahta Santanu.

“Bisma, Bisma, Bisma”, konon demikianlah gaung suara di langit, ketika pangeran muda itu mengucapkan kesetiaannya berkorban yang sedemikian besar itu. Konon, pelbagai kembang harum secara ajaib berjatuhan: seakan alam semesta ikut menyambut datangnya seseorang yang mengucapkan sebuah sumpah yang berat dan suci.

Srikandi menghela napas. Ia telah membunuh sebuah teladan keluhuran hati, ketika keluhuran hati sedang diinjak oleh rasa gagah dan kekerasan. Keluhuran untuk apa? Tiba-tiba ia teringat cerita yang pernah dikisahkan kepadanya, yang pernah begitu menyedihkan hatinya: cerita tentang Amba.

Amba, putri dari Kasi. Bukankah Bisma yang telah menyebabkan Amba menderita? Bismalah yang merenggutkan Amba dari percintaannya dengan Pangeran Salwa. Hari itu Bisma telah mengalahkan semua pangeran peminang tiga putri negeri Kasi, dan memboyong ketiganya Amba, Ambika, dan Ambalika—ke Hastinapura. Bukan untuk dirinya sendiri, tentu, karena ia telah bersumpah untuk tak akan kawin, melainkan untuk adik tirinya, Wicitrawirya, yang akan dinobatkan.

Tahukah Bisma betapa pedihnya hati Amba harus terenggut dari kekasihnya, Salwa? Ya, Bisma tahu. Amba menceritakan perasaannya yang sebenarnya kepada lelaki yang pendiam itu. Dan Bisma memang akhirnya mengirim kembali gadis itu ke tempat kekasihnya di Saubala. Tapi semuanya telah telanjur. Pangeran Salwa merasa telah kalah dan dipermalukan. Dan ia menampik kedermawanan Bisma.

Dan Amba, Amba yang setia itu terkatung-katung. Ia lari ke dalam hutan. Enam tahun lamanya ia bersembunyi, sakit, menua, dan menyadari: pada akhirnya ia hanya sebuah objek. Bisma hanya mengasihinya, tapi lelaki itu telah menghancurkan dirinya. Dengan keagungan jiwanya yang termasyhur.

Bisma, Bisma, Bisma. Keagungan itu untuk apa akhirnya? Ah, mungkin perang besar ini tak akan terjadi, dan keluarga Barata tak akan terpecah jadi Kurawa dan Pandawa, seaindainya Bisma dulu tidak terbujuk oleh rasa rela berkorban. Bukankah ia ikut bersalah dalam tragedi besar ini, hanya karena ia ingin menyenangkan hati seorang ayah yang telah tua, Raja Santanu? Haruskah rasa hormat, cinta, dan utang budi kepada seseorang meninggalkan kewajiban dalam sejarah?

Srikandi menghela napas kembali. Bisma, Bisma, Bisma. Di luar sana, di Kurusetra, turun gelap. Ada nampak cahaya api pembakaran. Api perkabungan. Bukan kemenangan.

11 Mei 1991

Reinkarnasi Amba ini, dalam lakon Mahabarata versi India, adalah sosok transgender. Tetapi, dalam lakon pewayangan Jawa, Srikandi adalah satria wanita yang juga istri Janaka. Ia digambarkan dengan perawakan yang tegap-tegas dan menantang-menentang. Kenapa pewayangan Jawa tidak mengikuti karakter Srikandi versi asli?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam