22/07/11

Duryudana

Oleh: Goenawan Mohamad


Ia mati dalam perang tanding di tepi telaga itu. Duryudana, yang pahanya hancur oleh pukulan gada Bima, yang kepalanya luka parah, yang menderita panjang sebelum ajal panjang datang beringsut-ingsut, akhirnya habis.

Beberapa prajurit yang menyaksikan pertempuran itu kemudian bercerita, bagaiamana pemimpin sulung para Kurawa itu, dalam kesakita yang hebat, masih berkata—dengan jelas, dengan pahit, dan final—seakan-akan kepada bayang-bayang lawannya di pasir tempat ia roboh. “Aku pergi ke surga dengan saudara dan kawan-kawanku. Tapi kau, yang menang, akan tetap di dunia. Untuk merasakan belasungkawa. Untuk merasakan kehilangan, untuk menanggung kesedihan atas kematian para sahabat dan sanak famili. Kemenangan yang kau capai? Akhirnya tak lain hanyalah tumpukan abu yang menutupi mulutmu. Selamat tinggal!”

Seorang pangeran tua, Balarama, yang sedang lewat dan ikut menyaksikan dari jauh bagaimana Bima menghancurkan musuhnya dalam dengus dendam bertahun-tahun, merasa jijik. Kekerasan memang tak selamanya bisa dielakkan. Dan para kesatria dilahirkan untuk menanggungkan beban dari senjata, perisai, pertempuran, rasa sakit, dan takut. Tapi sejauh mana kekerasan harus diumbar, dan Bima punya hak untuk menghantam Duryudana dengan cara yang licik?

Muka Balarama merah padam. Tapi ia tahu ia tak berdaya, bahkan ia tak bisa menjawab pertanyaannya sendiri. Hanya orang bijak bestari seperti Kresna, adiknya, yang akan bisa menjawab hal itu. Tapi ia pun akan memberi dalih kepada semua kekejian peperangan ini. Ia, Kresna, telah jadi suara terakhir, pemberi jaminan akan kebenaran yang dengan lengketnya mendukung para Pandawa. Karena para Pandawa adalah, selama ini, orang-orang yang tersingkirkan, disewenang-wenangi.

“Kresna, kau telah membiarkan kegilaan ini,” kata Balarama dalam hati. Lalu ia menyingkir, pulang dengan gundah ke tempat yang jauh, ke negerinya.

Dan telaga itu perlahan-lahan juga ditinggalkan pasukan. Hanya beberapa sisa prajurit yang luka—tentara Kurawa yang kalah dan remuk—yang tertinggal di sana.

Bima, dalam keadaan letih, tetapi juga dengan perasaan telah melalui sebuah klimaks, berada dalam rombongan yang menuju ke perkemahan di lapangan terbuka beberapa batu saja jauhnya dari ibu kota Hastina yang diperebutkan. Ia juga mendengar cerita tentang kata-kata Duryudana yang penghabisan itu. Ia menelan ludah. Ada rasa haus di lehernya.

“Aku bukanlah seorang yang gemar memikirkan hal-hal yang rumit,” ia mencoba meneduhkan pikirannya.

Tetapi ia toh ingat bagaimana berat hatinya ketika ia dalam peperangan itu menghadapi Vikarna—dan membunuh orang yang sangat ia hormati itu. Ia beberapa lama berdiam memandang nyawa Vikarna lepas dari tubuhnya, menggeliat, dan ia berbisik (ataukah ia telah berkhayal bahwa ia telah berbisik): “Duh, Vikarna, engkau telah bertempur karena panggilan kewajiban, dan aku terpaksa membunuhmu. Perang ini sangat terkutuk—Kakek Bisma ikut kami bunuh, dan kini kau aku bunuh.”

Tapi mengapa ia tak merasakan hal itu ketika ia memukul paha Duryudana di tepi danau yang suram itu? Dendam, ia menyimpulkan. Ia merasakan dendam menggelegak di darahnya. Ia ingat bagaimana dengan angkuhnya Duryudana menghina ia dan saudara-saudaranya, bagaimana Duryudana mencoba menipu mereka hingga tersingkir bertahun-tahun, bagaimana Duryudana tak putus-putusnya menampik upaya damai yang ditawarkan. Dendam, ia mendesis.

Perang ini adalah kewajiban yang pahit, pergulatan untuk hak yang ditiadakan, takdir dari langit yang besar, dan pelampiasan dendam yang mengendap tebal. Memang rumit dan mengacaubalaukan hati. Bima meraih kantung air, lalu mereguknya dengan lahap. Ia menghilangkan rasa haus dan pada saat yang sama juga rasa risaunya yang mulai ke permukaan.

Di tepi telaga, tidak jauh dari tempat Duryudana gugur, prajurit Kurawa tua yang luka mencelupkan mukanya ke air, lalu mereguk dan berjalan beringsut ke bawah batu karang yang menjorok ke utara. Malam telah datang, dan separuh bulan terpasang di antara mega yang bersih, merayap dari senti ke senti bersama waktu.

“Selamat jalan, Baginda kami. Telah banyak kesalahan dilakukan oleh orang yang berkuasa ketika berkuasa, tetapi akhirnya Tuan adalah seorang yang juga seperti kami: pernah berbuat baik, seperti yang Tuan lakukan ketika Tuan membela Karna: membela sais anak kereta itu dari penghinaan para Pandawa, sehingga si anak sais bisa berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan para pangeran.

“Pernah juga Tuan berbuat buruk. Tapi siapa tidak? Dewa-dewa tak selamanya saya mengerti. Mungkin juga tak selamanya Tuan mengerti. Kenapa sering yang buruk, dan yang baik dan diperhitungkan dalam kalah dan menang antara manusia. Para brahmana akan mengatakan itu nasib. Saya menyaksikan kesepian kematian Tuan di sini. Saya tak tahu mengapa harus ada nasib, dan mengapa dewa-dewa menentukannya demikian.”


1 Juni 1991

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam